http://www.pajak.go.id/node/541
Selamat Datang di Situs Riau Tax Consultant
Oleh Buyung Muniriyanto,
Sumber: Indonesian Tax Reform on Palm Oil Sector (2013)
Sumber: Indonesian Tax Reform on Palm Oil Sector (2013)
Sumber: Badan Pusat Statistik
Selamat Datang di Situs Riau Tax Consultant
Oleh Buyung Muniriyanto,
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak mempunyai dua fungsi yaitu fungsi penerimaan (budgeter) dan dan
fungsi mengatur (reguler). Fungsi penerimaan adalah fungsi pajak
sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran negara sedangkan fungsi
mengatur adalah sebagai cara atau alat untuk mengatur kebijakan di
bidang sosial ekonomi. Saat ini fungsi mengatur belum sepenuhnya
diperhatikan sehingga pajak yang diterapkan belum maksimal.
Fungsi-fungsi tersebut harus dijalankan dengan seimbang agar tujuan
pajak dapat dicapai, baik untuk menghimpun penerimaan ataupun untuk
mengatur kehidupan sosial ekonomi.
Tulisan ini berpendapat bahwa konsep Environmental Economy dapat
dijadikan dasar penerapan fungsi mengatur dalam pengenaan pajak
.Environmental economy atau ekonomi lingkungan adalah ekonomi yang
memperhitungkan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam
perhitungan ekonomi. Ekonomi lingkungan adalah salah satu penerapan
pegovian economy. Dalam pegovian economy selalu memperhitungkan
faktor-faktor luar (non ekonomi) yang dapat mempengaruhi ekonomi secara
signifikan.
Mungkin kita pernah mendengar pegovian tax sebagai salah satu contoh
pegovian economy, pegovian tax adalah pajak yang memperhitungkan biaya
sosial sebagai akibat dari perbuatan atau tingkah laku seseorang,
sebagai contoh; seseorang yang mengendarai sebuah mobil akan ada
biaya-biaya lain yang harus diperhitungkan selain biaya bensin, biaya
pajak kendaraan, biaya tol, biaya parkir dan lain-lain, yaitu biaya
polusi, biaya kerusakan lingkungan dari limbah mobil, biaya kenyamanan
orang lain yang terganggu dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut adalah
biaya-biaya eksternal yang menyangkut kehidupan bersosial dan
kelestarian lingkungan atas keberadaan dan/atau penggunaan mobil
tersebut.
Dengan konsep yang sama, tulisan ini yang mencoba menghitung dampak
dari sektor kelapa sawit dengan memasukan faktor kerusakan lingkungan
akibat sektor kelapa sawit. Faktor tersebut akan menjadi pengurangan
dari PDB kelapa sawit. Secara nasional PDB kelapa sawit berkonstribusi
positif dalam meningkatkan PDB Nasional dengan kontribusi rata-rata
empat persen pertahun. Tetapi apakah akan tetap memberikan kontribusi
positif apabila faktor eksternal juga diperhitungkan dalam menghitung
PDB dari sektor kelapa sawit.
PDB diihitung dari penjumlahan COE (Comission of Employee), GOS
(Gross Operating Surplus), GMI (Gross Mixed Income), pajak dan dikurangi
dengan subsidi pemerintah. Sehingga kalau dari rumus diatas secara
akuntansi dapat diasumsikan PDB dari sektor kelapa sawit adalah produksi
total dari sektor kelapa sawit. Berikut ini tabel PDB sektor kelapa
sawit dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2010 untuk produksi CPO dan
PKO saja, karena CPO dan PKO merupakan produk utama kelapa sawit di
Indonesia. Sedangkan produk turunan lainnya masih dalam proses
pengembangan dan jumlahnya tidak banyak.
Tabel Pendapatan Domestik Bruto Sektor Kelapa Sawit
Sumber: Indonesian Tax Reform on Palm Oil Sector (2013)
Dalam kurun waktu dua puluh tahun produksi kelapa sawit meningkat
lebih dari dua puluh kali lipat. Sehingga pada tahun 2006 menyalip
Malaysia dan menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Peningkatkan produksi kelapa sawit yang pesat disebabkan oleh pembukaan
lahan kelapa sawit yang sangat besar sepanjang tahun 1990-an sampai
sekarang. Pembukaan lahan kelapa sawit tersebut tidak hanya dari lahan
tidur yang tidak terpakai tetapi juga dari hutan yang dikonversi menjadi
lahan kelapa sawit.
Tidak diketahui jelas berapa persentase lahan kelapa sawit yang
berasal dari konversi hutan. Tetapi beberapa sumber baik pemerintah
maupun swasta mengatakan kurang lebih delapan puluh persen dari
perkebunan kelapa sawit berasal dari konversi hutan. Pernyataan tersebut
bukanlah tanpa alasan karena dahulu sebelum dijadikan perkebunan sawit
Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua merupakan hutan yang sangat lebat
dan menjadi salah satu paru-paru dunia.
Selain itu konversi ladang gambut dan polusi yang dikeluarkan oleh
sektor sawit merupakan faktor yang harus dihitung juga. Karena tidak
hanya konversi hutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan secara
permanen, karbon dioksida yang dihasilkan dari konversi ladang gambut
dapat mengakibat effek rumah kaca dan pemanasan global yang secara pelan
tapi pasti akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat besar.
Es di kedua kutub akan mencair akibat panas yang ditimbulkan oleh global
warming. Pencairan es tersebut akan meningkatkan level permukaan air.
Setiap sentimeter permukaan air laut yang meningkat maka akan
menenggelamkan ribuan hektare daratan termasuk daerah pertanian,
perkebunan dan lahan komersial. Sehingga dapat dibayangkan berapa
kerugian ekonomi yang ditimbulkan atas peristiwa tersebut.
Berdasarkan metode yang dikembangkan oleh ekonom lingkungan Pearce
pada tahun 2002 dan beberapa ekonom lain, kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh sektor kelapa sawit dapat dihitung secara ekonomi
sehingga dapat dikuantifikasi berapa kerugian yang diakibatkan dari
sektor kelapa sawit. Kerugian tersebut kemudian dikurangkan dari PDB
kelapa sawit sehingga diperoleh jumlah bersih kontribusi kelapa sawit
dalam PDB nasional.
Grafik Dampak Sektor Kelapa Sawit terhadap Perekonomian Nasional
Sumber: Indonesian Tax Reform on Palm Oil Sector (2013)
Dari grafik di atas diperoleh data bahwa tahun 2001 kontribusi sektor
kelapa sawit negatif, sehingga kelapa sawit yang seharusnya mendongkrak
ekonomi nasional malah menjadi beban karena kontribusinya negatif.
Meskipun kontribusi negatif hanya terjadi pada tahun 2001 tetapi secara
keseluruhan kerusakan lingkungan akibat sektor kelapa sawit meng-offset
PDB sektor tersebut sebesar kurang lebih empat puluh persen. Sehingga
tidak dipungkiri bahwa selama ini kita telah mencatat terlalu tinggi
untuk kontribusi sektor sawit terhadap PDB nasional.
Kalau dari sektor sawit saja sudah mencatat terlalu tinggi lalu
bagaimana dengan sektor-sektor lainnya? Apabila kita tidak memperhatikan
kerusakan lingkungan akibat pembangunan, maka sedikit demi sedikit
social cost akan semakin mahal, sebagai contoh wabah penyakit,
kekurangan air bersih, banjir, polusi, pencemaran lingkungan dan
lain-lain. Biaya-biaya itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sehingga dapat diprediksi apabila kita tidak menghitungnya sekarang,
maka dikemudian hari akan menjadi bom waktu yang akan menjadi beban
berat bangsa Indonesia. Oleh karena itu peran pajak, sebagai regulator
harus tepat sasaran untuk memberikan batas-batas pengelolaan sumber daya
alam yang baik.
Karena fungsi tersebut, pajak dapat meningktkan pengenaan pajak untuk
kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut harkat hidup
orang banyak dangan memperhitungkan social and environmental cost yang
ditimbulkan oleh suatu industri. Peningkatan pengenaan pajak ini akan
merubah perilaku pelaku bisnis. Sebagai contoh apabila pelaku bisnis di
sektor kelapa sawit akan membangun perkebunan kelapa sawit dari
lahan-lahan tidur atau rusak. Karena biaya yang dikeluarkan akan sangat
mahal jika mengkonversi hutan menjadi lahan kelapa sawit. Penerapan
pajak ini sudah dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang
dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Kita tidak mau kasus yang terjadi tentang kerusakan lingkungan dan
polusi di Cina terjadi di negara kita. Penerapan pajak tersebut memang
masih memerlukan kajian yang lebih dalam sehingga dapat diterapkan
dengan seadil-adilnya bagi semua warga negara Indonesia. Penerapan pajak
tersebut di beberapa negara eropa memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Pajak tersebut telah diterapkan sejak tahun 1990-an dan telah mengalami
bongkar pasang peraturan agar menjadi tepat pelaksanaannya seperti
sekarang. Meskipun tidak secara langsung berhubungan dengan penerapan
Environmental economy dalam perhitungan pajaknya, Direktorat Jenderal
Pajak mulai memperhitungkan kemungkinan tersebut melalui tema pertama
dari inisiatif satu dan dua dalam Program Transformasi Kelembagaan yaitu
“menggeser tax mix untuk mengikutsertakan semua wajib pajak”.
Tema tersebut sudah on the track dengan semangat untuk
memperhitungkan social cost dalam menghitung pajak. Karena selama ini
pajak di Indonesia lebih diterapkan terhadap corporate tax sehingga
untuk personal tax belum tergali dengan baik.
Grafik Pemilik Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber: Badan Pusat Statistik
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa orang pribadi yang bermain di
sektor ini cukup banyak, kurang lebih empat puluh persen dari seluruh
lahan kelapa sawit dikelola oleh petani sawit (smallholders)
yang sebagian besar adalah wajib orang pribadi. Penerimaan pajak dari
petani sawit belum banyak digali oleh pemerintah. Dengan demikian
ektensifikasi pajak dengan menjangkau pengusaha-pengusaha kecil sangat
diperlukan, meskipun saat ini hanya menitikberatkan kepada fungsi pajak
untuk mengisi kas negara (fungsi budgeter). Tetapi kedapannya fungsi
regulasi untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam perlu diterapkan.
Sehingga dengan penerapan pajak yang tepat dengan memperhatikan dan
menghitung semua aspek akan menyehatkan negara. Negara Indonesia tidak
hanya akan sehat secara finansial tetapi juga sehat dalam arti harfiah
karena warganya akan tinggal di negara dengan lingkungan hidup yang
terjaga.
Riau Tax Consultant
Jl. Garuda Ujung Gg, Burindo No. 123 H Pekanbaru - Riau
Telp . (0761) 7011 504
Mobile : 0852 7151 2757 / 0812 7782 7371
Email : iswadi.pku@gmail.com
Riau Tax Consultant
Jl. Garuda Ujung Gg, Burindo No. 123 H Pekanbaru - Riau
Telp . (0761) 7011 504
Mobile : 0852 7151 2757 / 0812 7782 7371
Email : iswadi.pku@gmail.com
Komentar